Pengertian Model Pembelajaran
Setidaknya ada empat istilah yang sering digunakan di dalam pembelajaran, yaitu model, pendekatan, metode dan strategi. Masing masing istilah memiliki perbedaan yang esensial dan harus dipahami oleh guru agar proses pembelajaran bisa mencapai hasil yang maksimal.
Model adalah kumpulan sejumlah komponen atau elemen yang membentuk satu sistem atau konstruksi tertentu. Hakekat model terletak pada jumlah atau jenis komponen atau elemen yang digunakan. Perbedaan model satu dengan lainnya dilihat dari perbedaan komponen atau elemen yang ada. Misalnya model baju seragam sekolah berbeda dengan model baju seragam pegawai kantor, karena komponen yang ada dibaju seragam sekolah berbeda dengan komponen baju seragam pegawai kantor. Model baju pengantin juga berbeda dengan model baju untuk menghadiri pesta. Lagi lagi komponen dan elemen antara baju yang dikenakan pengantin berbeda dengan baju yang dipakai oleh peserta atau tamu undangan dalam pesta pernikahan.
Bentuk atau nama bangunan juga berbeda antara bangunan perumahan atau pemukinan dengan bangunan gedung sekolah, karena komponen yang harus ada antara bangunan rumah tinggal dengan gedung sekolah berbeda. Kalau rumah tinggal wajib ada ruang tamu dan ruang tidur, tetapi untuk gedung sekolah tidak ada ruang tamu dan ruang tidur. Bangunan sekolah yang harus ada adalah ruang kelas, ruang guru, kepala sekolah, ruang perpustakaan, ruang kesehatan dan kantin. Ruang ruang tersebut tidak harus ada untuk bangunan rumah tinggal. Di dalam Pembinaan khususnya pembinaan kepada para pegawai juga dikenal berbagai macam model, diantaranya.
Pertama, Model pembinaan Andrew E.Sikula[1]. Model ini didasarkan kepada lima komponen yang terdiri dari tujuan sumber daya manusia, perencanaan organisasi, pengauditan sumber daya manusia, peramalan sumber daya manusia, dan pelaksanaan program sumber daya manusia.
Kedua, Model pembinaan Sosio-Ekonomik Battele[2], menurut George S Odine, yaitu model pembinaan yang ditekankan kepada kekuatan lapangan kerja. Model ini lebih efektif untuk membina pegawai dikaitkan dengan lapangan pekerjaan, situasi geografis dan sosial ekonomi masyarakat.
Ketiga.Model pembinaan SDM dari R. Wayne Mondy dan Robert M. Noe[3]. Model ini menggunakan perencanaan strategik yang memperhatikan pengaruh faktor lingkungan internal dan eksternal organisasi. Pembinaan SDM pada model ini sangat memperhitungkan persyaratan SDM, membandingkan tuntutan persyaratan dengan ketersediaan SDM (permintaan SDM, kelebihan SDM dan kekurangan SDM), dan perhitungan ketersediaan SDM dalam perusahaan.
Berbagai macam model pembelajaran harus dipahami oleh guru dan diaplikasikan ke dalam proses pembelajaran di kelas. Artinya guru memiliki kewenangan memilih dan menentukan berbagai macam model pembelajaran yang dianggap cocok atau sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dirumuskan, karena ciri ciri model pembelajaran setidaknya menyangkut beberapa hal yaitu :
Sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran[4]
Rasional dan ilmiah[5]
Berorientasi kepada peserta didik[6]
Realistis[7]
Kondusif[8].
Ciri ciri model pembelajaran tersebut, melahirkan berbagai macam model pembelajaran yang sering digunakan para guru seperti, Model Pembelajaran Inovatif, Model Pembelajaran Aktif, Model Pembelajaran Berbasis Problem, Model Pembelajaran Investigatif dan masih banyak model model lainnya.
Hakekat pembelajaran adalah memberikan atau menumbuhkan motivasi peserta didik agar memiliki keinginan kuat untuk mengetahui, memahami dan mengembangkan pelajaran. Keberhasilan seseorang meraih cita cita sangat ditentukan oleh sejauhmana mampu mengelola dan menumbuhkan motivasi dalam dirinya. Penentuan model pembelajaran merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan semangat bagi siswa dalam mempelajari materi pelajaran. Sehingga secara umum model dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu Model secara formal (fisik), dan model substansial (non fisik).
Model secara fisik adalah serangkaian langkah langkah atau tahapan yang harus dilalui oleh guru dan peserta didik dalam melakukan pembelajaran. Sedangkan model non fisik lebih merujuk kepada kesiapan secara mental/kepribadian untuk melakukan model yang telah rancang. Model berbasis problem misalnya, Guru dan siswa selain mengetahui dan mampu melaksanakan tahapan yang ada di dalam model berbasis problem juga harus memiliki kesiapan mental untuk mensukseskan model tersebut. Tujuan utamanya, melaksanakan model adalah agar peserta didik memiliki semangat dan mudah memahami materi yang disampaikan dari Guru. Kualitas pemahaman terhadap materi ditentukan oleh faktor fisik dan non fisik (psikologis). Oleh sebab itu pembelajaran harus selalu memperhatikan dua aspek yang selalu saling berkaitan.
Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan adalah sekumpulan asumsi atau teori yang dijadikan landasan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas tertentu atau untuk mengetahui tingkat keberhasilan pekerjaan tertentu. Pendekatan masih bersifat asumsi atau perkiraan yang harus diikuti dengan langkah langkah tehnis (metode) yang sesuai dengan asumsi yang ditentukan.
Pendekatan dalam memahami atau mendakwahkan agama Islam setidakanya dapat dilakukan dengan pendekatan filosofis, pendekatan rasional, pendekatan fungsional, dan pendekatan pembisaaan.
Pendekatan filosofis[9] adalah beberapa asumsi atau pemikiran yang menyatakan bahwa Islam akan mudah di pahami dan dilaksanakan oleh manusia jika dijelaskan dengan cara memberikan makna makna filosofi dari teks atau ayat. Pendekatan ini memerlukan kajian secara mendalam dari masing masing teks atau ayat. Ajaran Islam diturunkan kepada umatnya pasti dilatar belakangi oleh realitas atau peristiwa sejarah yang harus diungkap dan dijelaskan secara optimal oleh umat Islam agar umat Islam benar benar memiliki cara fikir dan pemahaman yang tepat sesuai dengan konteks zamannya. Karena setiap ayat al qur’an turun kepada umat Islam pasti ada sebab sebab turunnya (asbabun nuzul) yang lebih banyak memberikan informasi tentang situasi dan kondisi masyarakat saat turunnya ayat.
Pendekatan rasional adalah sekumpulan asumsi atau pemikiran bahwa Islam akan mudah di pahami oleh manausia jika dijelaskan dengan cara cara yang dapat diterima oleh logika. Ajaran Islam dirasionalkan sehingga manusia benar benar mampu dan sanggup untuk menerima dalam artian menyakini dan sekaligus mengakui bahwa Islam itu agama yang baik dan layak di anut. Ajaran agama setidakanya memiliki dua dimensi yaitu dimensi ta’aquli (rasionalitas) dan dimensi ta’abudi (keyakinan). Tidak semua agama harus didekati menggunakan rasionalitas, tidak semua ajaran agama juga harus di dekati menggunakan keyakinan atau keimanan. Mayoritas ajaran agama memerlukan penjelasan secara rasionalitas[10].
Pendekatan Fungsional adalah sekumpulan asumsi atau pemikiran yang meyakini bahwa Islam akan mudah dipahami jika dijelaskan fungsi dan manfaatnya ajaran Islam dalam kehidupan manusia. Setiap ajaran Islam pasti memiliki makna atau manfaat yang besar bagi kehidupan manusia.
Pendekatan Pembisaaan adalah sekumpulan asumsi atau pemikiran yang mengakui atau meyakini bahwa ajaran Islam akan mudah dirasakan dan dipahami jika dilakukan secara rutin. pendekatan pembisaaan itu dilakukan dengan cara melatih secara rutin untuk melaksanakan ajaran ajaran agama. Seperti melatih atau membiasakan hidup bersih, melatih atau membisaakan menjalankan sholat lima waktu sehari semalam, melatih dan membisaakan menjalankan ibadah puasa ramadhan.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran adalah pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), pendekatan ketrampilan proses, pendekatan kompetensi dan pendekatan Pengembangan Pembelajaran Sistem Instruksional (PPSI).
Berbagai macam pendekatan ini hanya memuat tentang beberapa asumsi atau persepsi tentang prediksi keberhasilan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pendekatan CBSA didasarkan asumsi atau persepsi bahwa keberhasilan pembelajaran akan mudah tercapai jika guru memberikan kesempatan atau kebebasan kepada siswa untuk aktif menemukan kebenaran atau teori. kebebasan itu dapat diberikan melalui berbagai macam metode yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Pendekatan ketrampilan proses adalah pembelajaran yang didasarkan asumsi bahwa keberhasilan siswa dalam pembelajaran ditentukan oleh proses yang dilakukan siswa. Misalnya kemampuan atau penguasaan materi yang dimiliki oleh peserta didik tidak dilihat dari nilai (angka) yang raih setelah ujian, melainkan dilihat dari proses bagaimana peserta didik melakukan pembelajaran sehari hari. Semua proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa harus benar benar sesuai norma dan aturan yang berlaku. Proses pembelajaran harus benar benar jujur, transparan, adil serta tidak diskriminatif. Konsekuensinya Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk melakukan proses menemukan kebenaran atau teori.
Pendekatan kompetensi[11] adalah proses pembelajaran yang didasarkan asumsi atau persepsi bahwa keberhasilan peserta didik akan dapat diperoleh jika guru mampu merumuskan dan mencapai kreteria atau indikator kompetensi yang dimiliki oleh siswa setelah proses pembelajaran. Pencapaian kompetensi merupakan target utama dalam meraih keberhasilan proses pembelajaran.
Pendekatan PPSI[12] adalah proses pembelajaran yang didasarkan asumsi atau persepsi bahwa keberhasilan pembelajaran akan mencapai hasil yang maksimal jika dilakukan dengan pendekatan sistem, yaitu cara fikir yang mengatakan bahwa pembelajaran itu ditentukan oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh Guru saja, dan juga tidak bisa ditentukan oleh kualitas motivasi peserta didik. Semua elemen memiliki kontribusi besar dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Masih banyak jenis pendekatan pembelajaran lainnya, intinya Guru harus memiliki kemampuan untuk memahami dan menguasai sekaligus mempraktikan pendekatan dalam proses pembelajaran. Keberhasilan pendekatan ditentukan juga oleh kesesuaian dengan metode yang digunakan. Sebaik apapun pendekatan jika tidak diikuti dengan metode yang tepat maka akan sia sia.
Pendekatan yang dapat dikatakan cukup inovatif dan merupakan rangkuman dari berbagai pendekatan di atas adalah bernama pendekatan CTL ( Contexstual Teaching and Learning) yang bisaa di sebut pembelajaran kontekstual. Pendekatan CTL merupakan pendekatan pembelajaran yang mengedepankan makna, bermakna dan dibermaknakan artinya pembelajaran benar benar sesuai apa yang dialami peserta didik baik secara fisik maupun psikologis. Pembelajaran yang menjamin kenyamanan dan ketenangan peserta didik sehingga peserta didik memiliki kemampuan kreativitas dan inovatif dalam megembangkan ilmu pengetaahuan[13].
Pengertian Metode Pembelajaran
Keberhasilan pembelajaran, selain ditentukan oleh model dan pendekatan juga ditentukan oleh metode yang digunakan atau dipilih guru. Guru yang baik adalah yang mampu memilih jenis metode yang sesuai, dalam artian sesuai dengan materi dan kemampuan peserta didik. Metode adalah cara atau langkah langkah yang digunakan untuk menuju suatu tujuan yang sudah ditentukan. Metode atau cara bersifat tehnis atau praktis dan merupakan penjabaran dari pendekatan. Metode pembelajaran berisi tahapan atau langkah langkah tehnis /praktis yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Metode pembelajaran yang baik adalah yang memeiliki ciri ciri sebagai berikut :
Intruksionistik yaitu sesuai dengan tujuan yang ditentukan
Substantif yaitu sesuai dengan materi yang ditentukan
Praktis yaitu didukung dengan sarana dan prasarana yang memadahi
Aplikatif yaitu didukung dengan kemampuan dan ketrampilan guru dan peserta didik.
Berdasarkan ciri ciri tersebut, dapat dikatakan bahwa tidak ada metode yang baik dan juga tidak ada metode yang buruk. Semua metode baik dan semua metode buruk. Baik dan buruknya metode ditentukan dengan kesesuaian dengan tujuan, materi, sarana dan kemampuan guru serta peserta didik. Konsekuensinya, kunci sukses guru dalam melakukan pembelajaran ditentukan sejauhmana mampu memilih metode yang tepat dalam pembelajaran.
Banyak pilihan metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran, seperti metode ceramah, diskusi, tanya jawab, uswah (contoh), demontrasi, karya wisata, pembisaaan (driil), bermain peran (role playing) dan masih banyak metode lain yang bisa dioptimalkan untuk meraih tujuan yang telah ditentukan. Konsekuensi pertama dan utama adalah metode harus dikuti dengan kualitas elemen lainnya. Guru tidak boleh hanya mengandalkan satu metode saja, tetapi harus menggunakan metode yang bervariasi disesuaikan dengan jenis materi dan tujuan yang dirumuskan. Metode akan dapat berjalan efektif jika diikuti dengan beberapa prinsip prinsip dalam pembelajaran seperti[14] :
Prinsip aktivitas yaitu metode yang dilakukan harus memberikan kesempatan peserta didik untuk melakukan aktivitas atau mengalami pengalaman.
Prinsip motivasi yaitu metode yang dilakukan harus harus benar benar mampu menumbuhkan motivasi bagi peserta didik.
Prinsip individualitas yaitu metode yang dilakukan harus benar benar memperhatikan perbedaan individu yang dimiliki peserta didik.
Prinsip lingkungan yaitu metode yang dilakukan harus benar benar sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang ada di tengah tengah masyarakat.
Prinsip konsentrasi yaitu metode yang dilakukan harus mampu mengkondisikan konsentrasi peserta didik.
Prinsip kebebasan yaitu metode yang digunakan mampu memberikan kesempatan peserta didik untuk mengekpresikan pengetahuan dan potensi yang dimiliki.
Prinsip peragaan yaitu metode yang dilakukan benar benar mampu memberi inspirasi peserta didik untuk mempraktikan apa yang diketahui dan dipahami.
Prinsip kerjasama dan persaingan yaitu metode yang digunakan harus benara benar mempu menumbuhkan semangat untuk berkompetensi secara sehat degan sesama teman sejawat.
Islam memberikan batasan cara cara melakukan penjelasan atau dakwah yang harus dilakukan dengan tiga cara yaitu secara hikmah, nasehat yang baik dan berdiskusi yang tetap menjunjung tinggi kedamaian, persatuan dan kesatuan. Hal ini didasarkan agama Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamiin yaitu agama yang memiliki visi dan misi memberi rasa aman, bahagia, sejahtera secara lahir dan batin kepada semua manusia tanpa melihat asal usul agama, suku, warna kulit dan golongan[15].
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang secara substantif mengajarkan nilai nilai ajaran agama Islam harus mengikuti etika dan pesan yang ada di dalam agama (Al-qur’an dan Hadis) dengan pemahaman yang bijaksana agar melahirkan cara fikir dan sikap serta perilaku peserta didik yang mampu menyelesaikaan dan menghadapi problematika dalam kehidupan sosial.
Pembelajaran PAI harus mampu melaksanakan metode tranformatif[16] yaitu metode yang dilaksanakan harus mampu menggeser atau merubah dalam tiga hal yaitu Pertama, pergeseran dari teks ke konteks. Artinya peserta didik tidak cukup hanya mengetahui dan memahami nilai nilai atau pesan ajaran Islam secara tekstualis melainkan harus lebih dari itu yaitu cara fikir kontekstual dalam artian menyesuaikan dengan dinamika masyarakat. Kedua, pergeseran dari teori ke aksi. Artinya peserta didik tidak cukup hanya menghafal teori saja, tetapi harus mampu melaksanakan apa yang diketahui dan dihafal kedalam realitas kehidupan sosialnya. Ketiga. pergeseran dari kualitas individual menuju kualitas sosial. Artinya peserta didik tidak cukup baik secara individualnya saja, tetapi juga harus berkualitas secara sosial.
Pembelajaran Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Pembelajaran secara umum diartikan proses interaksi antara guru dengan peserta didik yang dilakukan secara terencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Di dalam pembelajaran terdapat aktivitas belajar dan mengajar. Belajar adalah aktivitas yang ditekankan kepada peserta didik, sedangkan mengajar adalah lebih menekankan kepada aktivitas guru. Menurut Howard L Kingsley yang dikutip oleh Saefudin[17] menjelaskan Belajar adalah is the process by which behavior (in the border sense) is originated or changed through practice or training.
Menurut Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 20 dijelaskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada satuan lingkungan belajar. Menurut Umar Hamalik yang dikutip oleh Saefudin (2017: 13) dalam buku Belajar dan Pembelajaran mendefinisikan pembelajaran adalah kombinasi yang tersusun antara unsur manusiawi, material, fasilitas dan rencana yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan tertentu.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007: 13) yang mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologis belajar diartikan “ berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu “. Menurut Hilgar dan Bower belajar (to learn) memiliki arti (1) to gain knowledge, comprehention, or mastery of trough experience or study (2) to fix in the mind or memory : memorize (3) to acquire trough experience (4) to become in forme of to find out. Menurut definisi tersebut dapat dikatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai dan mendapatkan informasi[18].
Hakekat belajar adalah adanya keinginan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Perubahan menjadi kata kunci belajar. Setiap orang yang melakukan perubahan berarti telah melakukan proses belajar. Perubahan yang dilakukan harus dilakukan secara sadar, terencana dan sistematis. Jika perubahan tidak disadari dan tidak direncana secara matang maka tidak bisa dikatakan hasil belajar. Perubahan yang dilakukan akibat dari proses sulap atau hipnotis tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari hasil belajar. Perubahan bisa bersifat fisik dan non fisik. Tetapi dalam konteks belajar dan pendidikan, perubahan lebih ditekankan kepada aspek non fisik yaitu yang berkaitan dengan intelektual, sikap kepribadian dan perilaku atau ketrampilan mekanik.
Dalam konteks belajar dikenal dengan istilah taksonomi pembelajaran, dimana perubahan yang diperoleh dari hasil belajar setidaknya menyangkut tiga hal yaitu perubahan dalama aspek intelektual (kognitif), perubahan yang berkaitan dengan aspek sikap kepribadian (affektif) dan perubahan yang berkaitan dengan aspek ketrampilan mekanik atau otot (psikomotorik). Ciri utama belajar terletak pada kesediaan untuk melakukan perubahan yang bersifat positif atau lebih baik dari sebelumnya. Perubahan dari positif menjadi negatif , dari ingat menjadi tidak ingat, dari yang asalnya mengetahui dan memahami kemudian menjadi tidak mengetahui dan tidak memahami persoalan tidak menjadi indikator hasil belajar. Mengapa demikian?, belajar pada hakekatnya dimaksudkan untuk melahirkan kebaikan dan kemanfaatan, oleh sebab itu hasil belajar harus selalu berkaitan dengan hal hal yang positif dan bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Lebih lanjut Baharuddin & Esa Nur Wahyu (2007: 15-16) menjelaskan bahwa Ciri ciri belajar adalah;
Ditandai dengan perubahan tingkah laku yaitu perubahan yang ada di dalam diri peserta didik (si belajar) harus bersifat positif baik yang menyangkut aspek kognitif[19], affektif[20] dan psikomotorik[21].
Perubahan relatif permanen (tetap), artinya perubahan yang dimiliki oleh peserta didik bertahan lama dan cenderung menunjukkan perkembangan kearah yang lebih baik.
Perubahan tingkah laku tidak selalu dapat diamati secara cepat, tetapi bisa bersifat potensi. Artinya perubahan yang diperoleh dari hasil belajar tidak selalu berupa hasil nyata, tetapi bisa berbentuk potensi atau semangat untuk berkembang.
Perubahan tingkah laku merupakan hasil dari latihan. Perubahan yang dimiliki peserta didik bukan hasil intuisi melainkan dilalui dengan proses yang rasional
Perubahan tingkah laku tersebut dapat memberikan penguatan. Artinya perubahan yang dimiliki oleh peserta didik memiliki pengaruh yang baik dalam sikap kepribadian dan perilaku dalam kehidupan sehari hari.
Dapat dikatakan pembelajaran memiliki karakter kondisional yaitu proses atau cara serta materi yang diajarkan harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis peserta didik. Realitas pendidikan di Indonesia bahwa pendidikan dan pembelajaraan dibagi ke dalam jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Dengan demikian, proses pembelajaran juga harus memperhatikan karakteristik masing masing jenjang pendiddikan dan pembelajaran.
Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah (MI) berbeda dengan pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) serta di Pendidikan Tinggi, karena secara psikologis dan target kelembagaan berbeda.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar bentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat[22].
Secara eksplisit Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah bentuk pendidikan dasar yang tujuan utamnya adalah melandasi agar mampu meneruskan kejenjang selanjutnya. yaitu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan ke Madrasah Aliyah (MA). Misi utama pendidikan MI adalah melandasi atau membekali peserta didik agar memiliki kesiapan secara lahir dan batin untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya. Membangun kesiapan secara lahir (fisik) dan batin (psikis) para peserta didik menjadi pilihan utama yang harus diwujudkan melalui proses pembelajaran dan kepemimpinan.
Dalyono (1997: 165-167) menjelaskan kesiapan atau dalam bahasa asing disebut readiness adalah kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu. Readiness juga bisa diartikan segenap sifat atau kekuatan yang secara optimal sehingga membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu. Kesiapan peserta didik bisa muncul disebabkan oleh situasi dan kondisi yang ada di dalam dirinya (internal) maupun situasi dan kondisi yang ada di luar dirinya (eksternal). Faktor pembentukan kesiapan peserta didik yang muncul dari dalam dirinya sendiri misalnya;
Pertama, adanya keberanian untuk mengatakan atau menyampaikan sesuatu. Artinya peserta didik memiliki keberanian secara optimal untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Guru harus memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menumbuhkan keberanian peserta didik untuk mengemukakan apa yang dirasakan secara benar dan jujur.
Kedua, adanya keberanian untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya secara optimal. Peserta yang memiliki kesiapan untuk belajar secara optimal dapat dilihat dari keberanian untuk bersosialisasi atau bergaul dengan temannya secara maksimal. Tidak ada perasaan minder atau khawatir bahkan takut dengan siapapun, karena mereka meyakini apa yang dimiliki dalam perasaanya dianggap sesuatu yang benar dan mulia. Perasaan benar dan mulia yang dimiliki akan mengalahkan rasa takut/khawatir sehingga memiliki keberanian dalam melakukan aktivitasnya.
Ketiga, adanya perasaan atau situasi dan kondisi yang aman, nyaman, tidak ada tekanan psikologis dalam diri siswa. Kesiapan untuk belajar peserta didik akan mudah muncul jika dalam hati atau psikologinya benar benar aman, nyaman. Guru harus benar benar memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menciptakan rasa aman secara psikologis agar kesiapan dan kematangan peserta didik untuk belajar benar benar tercapai.
Keempat, dari aspek guru, harus mampu menampilkan profil atau sosok yang benar benar dapat dipercaya dan menjadi idola bagi peserta didik. Guru yang dianggap sosok yang memiliki kemampuan segala galanya akan menjadi inspirasi dan panutan bagi peserta didik. Oleh sebab itu guru dalam membangun atau menumbuhkan kesiapan belajar harus diikuti dengan penampilan guru secara optimal baik dalam hal kemampuan atau wawasan keilmuan, sikap kepribadian maupun ketrampilan. Kesiapan peserta didik akan mudah dicapai jika Guru benar benar mampu menjelma sosok yang idel menurut pandangan peserta didik[23]. Dengan kata lain kesiapan akan mudah diwujudkan jika peserta didik memiliki (a) motivasi besar dalam melakukan pembelajaran. Artinya peserta didik benar benar memiliki keinginan kuat untuk belajar dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. (b) memiliki sikap atau kecenderungan terhadap sesuatu yang positif. Peserta didik yang tidak memiliki kecenderungan positif kepada sesuatu maka akan mudah hilang kesiapan untuk belajar (c) kebisaaan melakukan hal hal yang positif akan mempercepat tumbuhnya kesiapan belajar secara optimal (d) konsep diri yang jelas dan tegas akan semakin cepat menumbuhkan kesiapan peserta didik dalam melakukan proses belajar.
Pembelajaran di MI dapat dikatakan pembelajaran yang menekankan pada pembentukan kesiapan peserta didik baik kesiapan fisik maupun mental. Apa yang dilakukan Guru pada pembelajaran anak anak MI diarahkan dalam rangka pembentukan dan penyiapan kondisi psikologis. Hal ini menjadi penting, karena kondisi psikologis atau mental merupakan faktor menentu keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu tujuan.
Anak anak pada usia 7-12 tahun adalah masa masa pertumbuhan baik fisik maupun psikis yang harus diberi stimulus secara tepat oleh Guru. Pada usia 7-12 dapat dikatakan usia yang labil dan dinamais. Labil adalah sangat rentan dan mudah dipengaruhi ke arah hal hal yang negatif ataupun positif. Dinamis adalah sangat mudah berubah atau berkembang. Konsekuensinya, Guru di MI harus benar benar mampu memberikan stimulus yang tepat dan proporsional kepada peserta didik agar perkembangan psikologisnya sesuai dengan harapan yang ditentukan.
Pembelajaran Doktriner
Pembelajaran doktrin didasarkan pada jenis pembelajaran di MI yang menekankan pada pemberian kesiapan mental kepribadian dan wawasan pengetahuan. Pembelajaran di MI tidak dirancang mampu menghadapi lapangan pekerjaan, bukan juga dimaksudkan untuk menyiapkan ketrampilan tehnis bagi peserta didik. Keberhasilan pembelajaran di MI dilihat sejauhmana Guru mampu memberikan kesiapan mental dan wawasan pengetahuan sehingga peserta didik benar benar memiliki semangat kuat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau SMP. Pembelajaran doktrin merupakan suatu pilihan yang tepat pada jenjang pendidikan di MI, karena secara substansi doktrin adalah proses penanaman pengetahuan dan keyakinan yang kuat kepada seseorang sehingga seseorang tersebut bisa berubah dalam aspek pengetahuan dan sikap kepribadian.
Doktrin disamakan dengan dogma, terjemahana dari bahasa Yunani yang artinya apapun yang nampaknya baik[24]. Doktrin (dogma) dapat dikatakan upaya untuk merealisasikan sesuatu agar selalu bisa melaksanakan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam pembelajaran doktrin (dogma) menekankan pada proses untuk menanamkan suatu pemahaan atau cara pandang terhadap sesuatu yang didasarkan prasangka baik (chusnu al dlaan). Pembelajaran doktrin (dogma) menanamkan kesiapan yang kuat untuk menjalankan apa yang diketahui dan diyakini secara optimal. Pembelajaran doktrin (dogma) memiliki karakter umum bahwa apa yang diketahui dan diyakini selalu dianggap benar dan tidak perlu memerlukan adanya pembuktian (bukti empiris). Seseorang yang berhasil didoktrin akan memiliki pengetahuan, keyakinan yang utuh atau total sehingga akan mengikuti semua perintahn yang datang kepada dirinya.
Doktrin juga dimaksudkan untuk menenamkan ideologi kepada orang lain sehingga memiliki komitmen dan tekat yang kuat untuk melakukan sesuatu kebaikan. Proses kelahiran sebuah ideologi bagi seseorang disebabkan oleh tiga[25] hal:
Pertama, ideologi lahir karena mendapat inspirasi dari orang lain yang dianggap idola atau dianggap memiliki kemampuan lebih dibanding lainnya. Anggapan yang luar biasa dari orang lain melahirkan semangat untuk mengikuti semua apa yang dikatakan sehingga lama kelamaan menjadi landasan atau pedoman untuk melakukan suatu perbuatan. Guru MI harus mampu melahirkan anggapan luar bisa dari peserta didik, segala ucapan dan keinginanya akan dianut dan diikuti oleh peserta didik. Disinilah urgensi pentingnya guru MI melakukan pembelajaran doktriner kepada peserta didiknya.
Kedua, Ideologi lahir disebabkan karena adanya pola pikir atau kesepakatan secara umum (banyak orang) ditengah tengah amsyarakat. Kesepakatan masyarakat secara evolutif akan mampu menjadi ukuran atau norma yang harus ditaati dan dipatuhi oleh semua orang. Sikap dan perilaku manusia diikat atau diatur oleh kesepakatan yang telah dilakukan sebuah komunitas. Relevansi dengan pembelajaran doktriner di MI terletak bahwa pembelajaran doktriner di MI diharapkan mampu mempengaruhi kesepakatan di tengah tengah masyarakat. Konsekuensinya materi doktrin yang diberikan kepada peserta didik benar benar dapat dipraktikan di tengah tengah masyarakat sehingga masyarakat makin terpengaruh dengan materi doktrin yang diberikan guru MI kepada peserta didiknya.
Ketiga, Ideologi lahir disebabkan karena adanya keyakinan tertentu yang sangat kuat. Doktriner salah satu tujuannya adalah memberikan atau menanamkan keyakinan yang kuat kepada peserta didik akan memiliki sikap dan perilaku yang ideal sesuai dengan tuntutan agama Islam. Keyakinan yang ditanamkan kepada peserta didik di MI adalah keyakinan yang kuat dan positif tentang keberadaan adanya Tuhan Sang pencipta alam semesta, sehingga disetiap perilakunya peserta didik merasa diketahui oleh Allah swt. Dengan kiata lain doktriner yang dilakukan kepada peserta didik di MI tidak lain adalah untuk memperkuat keyakinan keimanan kepada Allah swt.
Doktirn kepada peserta didik di MI bukan dimaksudkan untuk melahirkan atau mencetak peserta didik yang berfikir dan berperilaku tanpa pertimbangan. Doktrin pada pembelajaran di MI dimaksudkan untuk membangun dan membimbing konsep atau pemahaman peserta didik terhadap kekuasaan Allah SWT. Lulusan dari MI harus memiliki kekuatan dan keimanan atau kepercayaan adanya Allah SWT sebagai Sang Pencipta alam semesta dan tidak akan menduakan dengan apapun. Doktrin dalam pembelajaran MI mengarah kepada kualitas keimanan kepada Allah swt.
Ada perbedaan antara doktrin orang orang komunis dengan doktrin yang dilakukan di MI. Doktrin kelompok komunis tujuan utamnya adalah menjauhkan kepercayaan dari Tuhan. Kelompok komunis merasa sukses jika masyarakat memiliki keyakinan tidak ada Tuhan. Hidup ini adalah kehidupan pertama dan terakhir. Rasionalitas manusia menjadi kunci utama kesuksesan dalam kehidupan. Bahkan bagi orang komunis, Tuhan dan agama justru menganggu keberhasilan manusia. Doktrin komunis[26] adalah proses menanamkan keyakinan secara optimal agar setiap manusia tidak percaya adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Doktrin di lembaga pendidikan MI tujuan utamnya adalah mendekatkan (taqarrub) kepada Allah swt. Doktrin di MI mengajarkan keyakinan secara optimal bahwa penentu segala sesuatu (causa prima) adalah Tuhan semesta alam, sekuat apapun manusia masih jauh di bawah kekuasaan Tuhan. Oleh sebab itu manusia memiliki kekuatan yang sangat terbatas. Tugas manusia adalah berusaha secara optimal, sedangkan keberhasilan ditentukan oleh “tangan” Tuhan. Doktrin seperti ini bisa melahirkan sikap dan kepribadian yang tawadlu’, sabar, rendah hati, sopan santun dalam menjalani realitas kehidupan sosialnya.
Pembelajaran dengan doktrin bagi lembaga pendidikan MI sangat tepat dan relevan, hal ini bisa dilihat dari misi besar yang dimiliki oleh MI, yaitu :
Pertama, Misi keagamaan, yaitu semua komponen pendidikan di MI dan pendidikan Islam lainnya, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mensosialisasikan dan melaksanakan serta mendidik untuk memahami agama Islam secara utuh. Misi dakwah Islam selalu melekat dalam diri pelaksana pendidikan (Guru) di MI. Hakekat dakwah setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu, mengajak untuk melakukan kebaikan (amar ma’ruf), mengingatkan agar tidak melakukan perbuatan buruk (nahi mungkar) dan memberikan informasi yang dapat memahamkan umat terhadap nilai nilai atau ajaran Islam (mauidhoh hasanah dan uswah hasanah). Misi keagamaan ini juga menekankan pentingnya membentuk sikap kepribadian atau ahlaq dan moralitas peserta didik dalam menjalankan kehidupan sosialnya, sehingga dapat menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) dunia akherat. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah sementara, kehidupan yang abadi di akherat. Konsekuensinya, setiap umat Islam harus memiliki kesadaran bahwa kehidupan dunia merupakan sarana atau perantara untuk mencapai kesuksesan kehidupan akherat.
Kedua,Misi keilmuan atau akademik yaitu selain memiliki tugas dakwah Islamiyah, pelaksana pendidikan di MI juga memiliki tugas memberikan wawasan keilmuan (kognitif) dalam bidang kehidupan sosial. Artinya pembelajaran di MI selain membawa misi agama juga memiliki misi pengetahuan dalam artian melahirkan peserta didik menjadi cerdas, kreatif dan berpengetahuan yang dapat dijadikan landasan atau modal untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTS). Pembelajaran di MI juga harus memberikan bekal agar peserta didik bersedia mengembangkan semua potensi yang ada di dalam dirinya. Seperti potensi membaca, menulis, berfikir, merenung. Potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik harus dikembangkan secara optimal agar di jenjang pendidikan selanjutnya mampu menjadi kemampuan pengetahuan dan ketrampilan hidup secara optimal.
Kedua misi besar MI, akan mudah diperoleh jika dilakukan dengan proses doktrin, karena dengan doktrin manusia akan memiliki kesiapan dan kematangan serta keyakinan secara optimal dalam menjalani proses kehidupan.
Prinsip dan Langkah Langkah Pembelajaran Doktriner[27]
Secara umum prinsip diartikan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan. Prinsip juga dimaksudkan hal hal yang harus dipertahankan dalam sebuah aktivitas. Oleh sebab itu prinsip pembelajaran doktriner harus ada dan tidak boleh ditinggalkan oleh Guru pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Model Pembelajaran doktriner harus memperhatikan prinsip prinsip yang tidak boleh dihilangkan. Sekurang kurangnya ada 6 (enam) prinsip pembelajaran doktriner adalah sebagai berikut :
Tema atau topik yang dipilih harus benar benar mampu mendekatkan diri kiepada Allah SWT, bukan malah sebaliknya menjauhkan diri peserta didik dari Allah SWT.
Tema atau topik harus benar benar bermakna bagi peserta didik. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran doktriner benar benar bermanfaat untuk mendekatkan diri peserta didik kepada Allah Swt.
Tema atau topik harus benar benar disesuaikan dengan tingkat perkembangan atau pemahaman peserta didik. Artinya sesuai dengan tingkat kelas atau kondisi psikologis peserta didik.
Tema atau topik yang dipilih harus benar benar mendukung atau sesuai dengan kurikulum yang dipelajari. Artinya sesuai dengan silabus yang sedang dilaksanakan.
Tema atau topik yang dipilih harus benar benar sesuai dengan sarana yang ada. Artinya benar benar dapat dipastikan ada sarana atau alat yang mendukung pelaksanan pembelajaran doktriner.
Tema atau topik dipastikan bisa menggugah atau menyentuh psikologis atau emosi serta perasan peserta didik.
Keenam prinsip harus dijadikan bahan untuk melaksanakan langkah langkah pembelajaran doktriner. Langkah langkah atau tahapan yang dilaksanakan oleh Guru dalam pembelajaran doktriner tidak boleh terlepas dari keenam prinsip tersebut. Berdasarkan keenam prinsip tersebut, maka dapat dilakukan lengkah langkah tehnis pembelajaran doktriner sebagai berikut
Pertama, Merumuskan tujuan. Setiap Guru harus terlebih dahulu merumuskan tujuan yang akan dicapai. Guru harus juga memberikan penjelaskan kepada siswa agar para siswa mengetahui arah dan tujuan yang ingin dicapai.
Kedua, Memilih topik yang tepat sesuai dengan materi dan kondisi psikologis peserta didik. Pembelajaran doktrin harus benar benar sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, sesuai dengan materi, dan sesuai dengan dinamika masyarakat.
Ketiga, Menyusun atau merencanakan skenario cerita yang mampu meyakinkan peserta didik baik keyakinan akademik maupun keyakinan keagamaan. Esensi pembelajaran doktriner adalah menanamkan keyakinan secara optimal atau sempurna.
Keempat, Menyampaikan cerita yang mampu meyakinkan para peserta didik sesuai dengan tujuan yang ditentukan.
Kelima, Melibatkan emosi, perasaan atau suasana psikologis peserta didik agar benar benar bisa menerima doktrin sehingga terwujud karakter sikap dan kepribadian sesuai tujuan yang ditentukan.
Keenam, Menyiapkan sarana atau media yang mendukung terlaksananya pembelajaran doktriner. Media atau sarana bisa berbentuk buatan maupun sarana alamiah seperti lingkungan yang ada disekitar kehidupan peserta didik.
Ketujuh, Melakukan evaluasi langkah langkah yang telah dilakukan untuk menemukan kekurangan dan kelebihan dari apa yang telah dilakukan.
Pembelajaran doktriner ini didasarkan asumsi bahwa agama Islam memiliki visi, misi dan fungsi sebagai doktrin di samping memiliki visi, misi dan fungsi lainnya. Agama Islam harus mampu meyakinkan para pemeluknya untuk yakin dan percaya bahwa agama Islam akan menjadikan pemeluknya hidup bahagia, sejahtera, rukun, damai tanpa harus saling mengkhianati. Doktrin menyangkut keyakinan, hati dan perasaan. Keyakinan yang kuat akan mampu menumbuhkan motivasi yang tinggi dalam melakukan etos kerja dalam kehidupan sosial.
Beragama yang kuat harus didasarkan atas keyakinan kepada lima hal yang dikemas dalam rukun Islam dan juga keyakinan kepada enam hal yang dikemas dalam rukun iman. Lima hal yang harus diyakini yaitu keyakinan bahwa Nabi Muhamamd SAW utusan Allah (bersyahadah), keyakinan bahwa berserah diri kepada Allah SWT akan mampu menjadikan manusia selamat dari segala macam fenomena negatif (sholat), keyakinan bahwa menahan nafsu akan mampu mewujudkan kesempurnaan ahlaq dan perilaku manusia yang sempurna (puasa ramadhan), keyakinan bahwa saling membantu sesama khususnya bagi yang kekurangan akan melahirkan tatanan sistem sosial yang kuat (zakat fitrah), dan memiliki keyakinan kemampuan mengimplementasikan semua nilai nilai agama kedalam kehidupan sosial akan menjadikan manusia hidup bahagia dan sejahtera di dunia akherat (haji).
Enam hal yang haru diyakini adalah keyakinan bahwa Allah memiliki kekuatan dan kekuasaan diatas segala galanya manusai (iman kepada Allah SWT), keyakinan bahwa Mahluk Allah bernama malaikat memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan mengawasi dan mencatat semua amal baik beserta konsekuensi yang dialami (iman kepada Malaikat), keyakinan bahwa kitab Al Qur’an memuat pesan yang sempurna bagi kehidupan manusia (Iman kepada kitab Allah swt), keyakinan bahwa Muhamamd adalah utusan Allah yang memberikan ajaran kepada semua manusia agar patuh dan taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (iman kepada Rasulullah Saw), keyakinan bahwa setiap manusia akan menjalani kehidupan lain setelah menjalani kehidupan di dunia (iman kepada hari akhir), serta keyakinan bahwa usaha (ihtiyar) manusia memiliki keterbatasan. Hanya Allah SWT yang memiliki kewenangan untuk menentukan nasib manusia sesuai kadar yang diusahakan (iman kepada qadha dan qadar).
Referensi :
[1] M. Saekan Muchith (2011: 71-72), dalam Desertasi berjudul Model Pembinaan Pengawas Sekolah (tidak diterbitkan), Model Andre Sikula lebih menekankan pentingnya kesesuaian antara elemen atau langkah nomor satu dengan langkah selanjutnya. Oleh sebab itu pembinaan model Andre Sikula menuntut konsistensi antara elemen satu dengan lainnya.
[2] M. Saekan Muchith (2011: 74-76), dalam Desertasi Berjudul Model Pembinaan Pengawas Sekolah (tidak diterbitkan). Model ini menekankan aspek pentingnya situasi yang ada di luar lembaga. Artinya model ini harus benar benar mempertimbangkan dinamika yang ada diluar dirinya baik dinamika ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan kebudayaan. Model ini dapat dikatakan salah satu model yang selalu mengantisipasi berbagai dinamika dan problem yang berkembang sehingga materi dan hasil pembinaan akan selalu relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat .
[3] M. Saekan Muchith (2011: 78-79), dalam Desertasi berjudul Model Pembinaan Pengawas Sekolah (tidak diterbitkan). Model ini menekankan dua aspek internal dan eksternal. Artinya pembinaan akan efektif jika apa yang dimiliki disesuaikan dengan perkembangan faktor yang ada di luar dirinya. Model ini hampir sama dengan model sosio-ekonomi Battele. Model Battela hanya menekankan aspek eksternal, sedangkan model R. Wayne Monde menekankan dua aspek secara bersama sama.
[4] Model pembelajaran harus benar benar mendukung tercapainya rumusan tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan oleh Guru. Jika rumusan pembelajaran bertujuan untuk mengoptimalkan kecerdasan /ketrampilan intelektual (kognitif) maka model yang dilakukan harus benar benar dipastikan akan mamu mengoptimalkan kognitif siswa.
[5] Model pembelajaran harus benar benar memiliki landasan teoritik yang jelas dan juga benar benar sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki oleh siswa.
[6] Model pembelajaran dimaksudkan benar benar untuk membantu menyelesaaikan problem pembelajaran siswa. Artinya model ini benar benar dapat memudahkan atau menjawab kesulitan yang dialami oleh siswa.
[7] Model pembelajaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki Guru dan peserta didik serta ada sarana yang dapat mendukung terlaksananya model tersebut.
[8] Model pembelajaran benar benaar mendapat dukungan manajerial dari pemimpin lembaga.
[9] Pendekatan filosofis didasarkan pengertian filsafat yang berasal dari kata philo memiliki makna cinta kebenaran ilmu dan kebijaksanaan. Artinya kebenaran itu akan tercapai jika dikaitkan dengan sebab sebab dan akibat yang melingkupi kebenaran tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya Poerwodarminto, dijelaskan bahwa pendekatan filosifis adalah upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran dengan cara menelusuri sebab akibat, asas asas, dan hukum terhadap semua fenomena yang ada di sekitar kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan asbabun nuzul masing masing ayat dan asbabul wurudl dari hadis, yang mengharuskan menelusuri setting sosial turunnya ayat dan hadis, sehingga akan mengetahui dan menemukan makna yang tepat dalam kehidupan sosial.
[10] Agama Islam adalah agama yang memberikan peran sangat besar kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Tidak sedikit ayat al qur’an yang memerintahkan manusia menggunakan akal pikirannya. Para ahli tafsir mengatakan sebanyak 49 kali dalam alqur’an yang menunjuk tentang perkataan tentang akal seperti ta’qiluun, ya’qiluun, tadabbaruun, tafakkaruun, tadzakkaruun dan juga ulul albab. Perkataan tersebut menunjukkan bahwa akal pikiran (logika) memiliki peran penting dalam memahami agama Islam.
[11] Kompetensi diartikan seperangkat pengetahuan dan ketrampilan yang dijadikan landasan untuk melakukan tugas tertentu. Kata seperangkat menunjuk kepada makna banyak atau berbagai macam pengetahuan dan berbagai macam ketrampilan. Artinya guru dikatakan memiliki kompetensi jika memiliki berbagai macam pengetahuan dan berbagai macam ketrampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Guru tidak cukup hanya memiliki satu pengetahuan dan satu ketrampilan, karena untuk mencapai keberhasilan pembelajaran, Guru harus memiliki wawasan keilmuan dan penguasaan tehnik tentang pembelajaran. Dengan kata lain guru harus pintar, cerdas, berwawasan luas dan wawasan lintas sektor.
[12] Indikator Pendekatan PPSI dapat dilihat dari adanya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), oleh sebab itu setiap akan melakukan proses pembelajaran Guru dituntut harus menyusun RPP sebagai bukti kalau Guru memiliki penguasaan penuh secara sistematis terhadap materi yang akan di sampaikan dalam proses pembelajaran. RPP menunjukkan adanya kesesuaian antara elemen satu dengan lainnya seperti tujuan pembelajaran atau standar kompetensi harus sesuai dnegan kompetensi dasar yang diikuti dengan materi, metode dan sarana serta alat evaluasi yang dilakukan oleh Guru.
[13] Baca Elaine B. Johnson (2008: 17-23), Contextual Teaching & Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Diterbitkan oleh MLC Bandung Jawa Barat diterjemahkan Ibnu Setiawan dan Pengantar ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah. Elaine B Jhonson adalah seorang konsultan pendidik dan pelaku bisnis dan dikenal sebagai ilmuwan atau pakar dalam bidang pengajaran yang sesuai dengan cara kerja otak. Pekerjaan lainnya sebagai konsultan bisnis di Amerika Serikat dan Eropha. Mendapat penghargaan dari Universitas Chicago atas metode pengajaran yang dinyatakan luar biasa. Keberhasilan pendekatan CTL diikuti dengan tujun langkah strategis yaitu (1) harus berbasis problem atau permasalahan (2) Menggunakan konteks makna yang beragam (3) memperhatikan kebhinekaan peserta didik (4) memberdayakan peserta didik untuk belajar mandiri atau belajar sendiri. (5) harus mengedepankan kolaboratif (6) menggunakan penilaian autentik (7) mengejar atau berusaha mencapai standar yang lebih tinggi.
[14] Baca lebih lanjut Ahmad Rohani HM (2004: 6-25), Pengelolaan Pengajaran (edisi revisi), Rineka Cipta, Jakarta. Prinsip dapat diartiken sesuatu pengetahuan dan keyakinan yang harus ada. Artinya dalam melaksanakan metode pembelajaran, Guru harus memiliki beberapa prinsip tersebut agar metode pembelajaran benar benar berjalan secara efektif dan efisien. Metode dikatakan efektif jika dengan metode yang dipergunakan peserta didik mampu mendapat atau memperoleh pengetahuan baru. Metode dikatakan efisien jika metode yang dipergunakan memberikan semangat atau motivasi besar bagi peserta didik. Dengan metode tersebut, peserta didik benar benar merasa enjoy bukan tersiksa atau tertindas secara psikologis.
[15] Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt, “ Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang orang yang mendapat petunjuk “ (QS. An Nahl : 125).
[16] Metode tranformatif didasarkan atas realitas umat Islam yang tidak sesuai dengan idealisme ajaran Islam. Masih banyak mayoritas umat Islam yang berfikir atau memahami agama secara tekstualis atau normaatif sehingga mudah melahirkan sikap dan perilaku saling menyalahkan, saling mengkafirkan sesama muslim. Cara fikir tekstualis berimplikasi dengan sikap yang rendah toleransi karena memposiskian agama lain sebagai musuh. Mayoritas umat Islam juga masih terjebak kepada koleksi teori atau hafalan teks teks agama (al qur’an dan Hadis) yang tidak diimbangi secara optimal dengan kualitas perilaku (aksi). Sehingga banyak oknum umat Islam yang pandai berbicara, pandai memberi nasehat tetapi perilakunya tidak sesuai dengan apa yang dinasehatkan. Mayoritas, kualitas umat Islam masih sebatas tingkat individual, belum sampai kepada kualitas sosial (kolektivitas). Masih banyak oknum umat Islam yang secara pribadi sangat taat kepada perintah Allah SWT, seperti rajin sholat lima waktu, rajin puasa sunah senin kamis, rajin sholat malam, tetapi pada saat diberi amanah sebagai pemimpin atau mengatur organisasi /lembaga perilakunya seringkali menyimpang dari norma sosial dan agama. Fenomena masyarakat seperti itu perlu dilakukan perubahan dari metode pembelajaran transformatif dengan harapan mampu merubah atau menggeser cara fikir dan perilaku peserta didik dalam menjalani kehidupan sosialnya.
[17] Baca lebih lanjut Saefudin (2017 : 4), dalam buku Belajar dan Pembelajaran, diterbitkan oleh Group Penerbit Budi Utama, Yogyakarta.
[18] Baca lebih lanjut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007:13), dalam buku Teori Belajar dan Pembelajaran, diterbitkan Ar Ruzz Media Group, Yogyakarta.
[19] Kognitif adalah kecerdasan atau ketrampilan intelektual yang di dalamnya berisi tentang pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Artinya seseorang dikatakan memiliki kognitif yang baik jika keenam potensi tersebut mampu ditumbuhkembangkan secara optimal.
[20] Affektif adalah kecerdasan atau ketrampilan sikap kepribadian yang di dalamnya berisi tentang kemampuan untuk menerima, merespon, mengorganisasikan, sikap dan sistem nilai. Artinya affektif ini kecerdasan yang berkaitandengan rasa atau kepribadian manusia. Semakin cerdas affektifnya maka semakin baik sikap kepribadiannya.
[21] Psikomotorik adalah kecerdasan atau ketrampilan yang berkaitan dengan otot/fisik/mekanik yang di dalamnya terdapat beberapa kemampuan seperti, seet (kesiapan), Over respons ( kemampuan mengenal), mekanis (mengoperasionalkan), adaptasi (kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan /situasi dan kondisi) dan origination (gerakan yang mengandung unsur seni atau keindahan). Seseorang yang memiliki kemampuan origination ini dapat dikatakan profesional. Seperti pemain sepak bola yang mampu menendang bola melengkung, pemain bola voli yang melakukan pukulan smash yang bervariasi sehingga bisa mengkecoh lawan mainnya, petinju yang mampu memukul lawan dengan gerakan yang indah sehingga menarik untuk ditonton. Qori (pembaca alqur’an) dilantunkan dengan lagu yang indah tanpa mengurangi ketepatan tajwidnya. Pendidikan atau materi agama sebenarnya tidak banyak yang mengandung aspek psikomotorik, karena pendidikan agama tidak mementingkan unsur fisik/mekanik. Pendidikan agama lebih banyak menekankan pada aspek sikap kepribadian (affektif). Oleh sebab itu Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih menekankan ranah affektif dan kognitif. Ranah psikomotorik dalam PAI sangat kecil. Misalnya, materi tentang sholat sebenarnya menekankan bagaimana peserta didik mampu memahami nilai nilai sholat untuk diaplikasikan kedalam kehidupan sosialnya. Materi puasa juga menekankan bagaimana peserta didik mampu mengambil hikmah ibadah puasa kedalam kehidupan sosialnya, seperti mengaplikasikan nilai nilai kejujuran, kedisiplinan yang ada di dalam ibadah puasa ke dalam kehidupan sosialnya. Aspek aspek ini bersifat affektif dan kognitif bukan psikomotorik.
[22]Baca Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 tahun 2003, Bagian ke dua, pasal 17 ayat 1 dan 2.
[23]Baca M. Dalyono (1997) dalam buku Psikologi Pendidikan, diterbitkan oleh Rineka Cipta, Jakarta. Kesiapan bagi peserta didik di MI akan menentukan keberhasilan pembelajarn jenjang berikutnya. menurut penulis kesiapan setidaknya menyangkut dalam beberapa hal Pertama, kesiapan akademik, yaitu peserta didik di MI harus memiliki kesiapan untuk memahami materi di jenjang selanjutnya. Kedua, kesiapan mental, yaitu peserta didik di MI harus benar bnenar memiliki pilihan atau motivasi besar untuk melanjutkan sekolah kejenjang berikutnya. Ketiga, kesiapan ideologi yaitu peserta didik MI harus benar benar memiliki kematangan dalam hal keyakinan agama yaitu agama Islam.
[24] Athur S Reber & Emily S Reber (2010: 282), Kamus Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Di dalam kamus ini, doktrin disamakan dengan dogma yang memiliki makna sesuatu yang diketahui, diyakini secara kuat tanpa harus diikuti dengan data dukung secara empirik (pembuktian).
[25]Lebih lanjut baca Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam Buku “Sejarah Ideologi Dunia”: Kapitalis, Sosialis, Komunis, Fasis, Anarkhis, Marxisme dan Konservatif, penerbit Lentera Kreasindo, Yogyakarta, hal : 5-6. Bicara ideologi juga bicara keyakinan yang kuat dan mendalam. Esensi pembelajaran doktriner terletak pada proses menanamkan keyakinan yang kuat dan mendalam kepada peserta didik agar benar benar memiliki keyakinan kuat dan mendalam tentang agama Islam yang dimiliki oleh peserta didik sepanjang kehidupannya.
[26] Berdasarkan cerita yang diterima penulis dari nenek saat penulis masih kecil, pernah diceritakan kepada penulis tentang bagaimana orang orang komunis melakukan indoktrinasi kepada para peserta didik di jenjang pendidiian dasar (SD& SMP). Setiap hari sebelum pelajaran dimulai, semua peserta didik diajak untuk berdoa di halaman sekolah. Para Guru yang semuanya berideologi komunis mengajak berdoa kepada peserta didik untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Ayo anak anak, kita minta roti kepada Tuhan, pejamkan matamu, terus teriakan dengan kata kata “Ya Tuhan ! saya minta roti, ayo diulang tiga kali. Setelah peserta didik meminta roti kepada Tuhan, terus guru berkata silahkan buka mata anda. Bagaimana?, ada roti?, peserta didik serentak mengatakan tidak!!. Guru menyahuti, kalau begitu ayo kita berdoa kepada bapak dan ibu guru. Ayo pejamkan mata anda, terus berkata: Ya Bu Guru saya minta roti. Pada saat peserta didik mengatakan minta roti, secara cepat para guru menempatkan roti di tangan semua peserta didik. Setelah selesai memberi roti, guru berkata, buka mata anda, bagaimana ada roti?, Serentak peserta didik menjawab : Ada!!. mendapat jawaban tersebut, guru menyimpulkan berarti Tuhan tidak ada, yang ada adalah bapak dan ibu Guru. Anak anak menjawab iyaa. Inilah bentuk contoh doktrin para komunis untuk menjauhkan diri dari Tuhan. Doktrin di MI dilakukan sebaliknya dengan para komunis yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt.
[27] Prinsip dan langkah langkah dalam pembelajaran bersifat subsyektif dan situasional, Artinya Guru sebagai profesi memiliki kewenangan dan kebebasan untuk mengembangkan atau mengelaborasikan tentang prinsip dan langkah pembelajaran. Hal ini didasarkan asumsi bahwa pembelajaran adalah proses merespon semua dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan sekitar. Guru harus mampu menyesuaikan semua prinsip dan langkah pembelajaran yang relevan dengan situasi dan kondisi peserta didik agar pembelajaran benar benar efektif dan efisien. Pembelajaran dikatakan efektif jika mampu menambah informasi dan pengetahuan baru bagi peserta didik, sedangkan pembelajaran dikatakan efisien jika dilakukan dengan penuh inspiratif dan menyenangkan bagi peserta didik.